Cerbung - Goresan Senja Part IV
***
1 bulan berjalan. Namun sesuatu itu rasanya masih mengganjal di pikiranku. Dan terus berkeliaran di benakku. Sulit rasanya untuk melupakan semua itu. Pernah aku berkata, rasanya aku ingin mengalami amnesia persial (amnesia sebagian) jadi sesuatu itu bisa hilang dari pikiranku. Tapi, Tuhan berkehendak lain. Aku masih terus menjadi Mega yang seperti biasa. Selalu ada cobaan. Selain sesuatu itu yang membuatku sakit. Baru kali ini aku merasakan sakit hati yang sebegini rasanya. Ditambah lagi dengan cobaan lain. Antaranya, aku sering sekali diejek, diolok-olok, ditimpali. Entahlah, rasanya aku ingin keluar dari hidup ini. Tapi, tetap saja Tuhan berkehendak lain pula. Mungkin di balik kesedihan itu semua, ada sebuah kebahagiaan. Sebagai balasan orang-orang yang sabar —sepertinya aku harus lebih sabar. Itu petuah yang sering sekali aku ucap J.
“Mega..” sapa Mama lembut ke aku yang sedang asyik-asyiknya —sepertinya tidak asyik loh— melamun di kursi.
“E.. e.. Iya, Ma. Ada apa?” ucapku terbata-bata karena baru saja sadar dari lamunan.
“Ah! Kok kamu gagap sih, Meg? Hayo, lagi ngelamunin apa, ya?” tanya Mama sedikit meledekku.
“Ngga pa-pa kok, Ma. Hehe.” jawabku meyakinkan.
“Ya, sudah.” kata Mama santai. “Gini, nih, Mama mau cerita ke kamu. Tapi kamu diam dulu. Jangan terlalu shock kalau sudah mendengar berita ini, ya!” ucap Mama.
“Cerita apa, Ma?” tanyaku penasaran.
Mama langsung mulai cerita. “Awalnya Mama juga ngerasa gimana gitu. Tapi ini sudah menjadi takdir kita mungkin. Kita harus pindah ke Batam menyusul Papamu. Secepatnya juga! Soalnya di sini kita sudah tidak punya apa-apa lagi. Sementara pihak keluarga yang ada di Batam meminta kita supaya tinggal di sana saja. Selamanya. Kita mau tinggal dimana lagi coba selain di Batam? Hanya satu-satunya itu kesempatan buat kita tinggal. Bisa nyaman di sini.”
Glek! Pindah ke Batam? Tinggal di sana? Selamanya? Ngga akan balik lagi ke sini? Ya Tuhan.. Bagaimana dengan sahabat-sahabatku? Terutama Deka dan ADSN? Bagaimana dengan sekolahku? OMG! Aku baru teringat, ini juga ada positivenya. Mungkin dengan ini aku bisa cepat melupakan Vio. Dan semua kejadian itu. Tapi? Negativenya pun banyak L.
“Ha? Kita tinggal di Batam, Ma? Selamanya?” tanyaku kaget.
Mamah hanya mengangguk. Aku termenung. Shock! Ya Tuhan..
“Bagaimana dengan sekolahku, Ma? Bagaimana juga dengan teman-temanku, Ma?” tanyaku lagi.
“Tenang saja. Itu jadi urusan Mama dan Papa. Nanti Papa akan ke sini menjemput kita. Dan mengurusi semua urusan sekolahmu. Mungkin lusa kita bisa berangkat ke Batam. Terus jangan takut, di sana kamu pasti akan mendapatkan teman baru yang mungkin bisa lebih baik.” jawab Mama yang masih kelihatan tegar dan juga sedikit menasihatiku.
“Baiklah, Ma..” ucapku pasrah. Kemudian aku memeluk Mama.
‘Selamat tinggal Semarang! Selamat tinggal teman-teman dan sahabat-sahabatku! Selamat tinggal ADSN! Selamat tinggal Deka! I will always miss you! And, see you, good bye VIO!!!’ ucapku dalam hati.
***
“ADSN, Dek, semua, aku mau pindah!” ucapku tiba-tiba saat berjalan sepulang dari sekolah.
Glek! Deka yang dari tadi berjalan menunduk tiba-tiba saja tersentak kaget. Begitu juga dengan ADSN yang walaupun dari tadi mereka bergurau, tapi tiba-tiba saja mereka juga tersentak kaget.
“Haaahh? Beneran?” tanya Deka dan ADSN serentak kaget.
“Iya. Sungguh. 100%!” jawabku meyakinkan.
Kemudian semua langsung lemas. “Kamu yakin mau pindah? Kemana? Kapan? Mengapa?” tanya Firani masih tak percaya.
“Ke Batam. Mungkin secepatnya. Kalau ngga besok, ya, lusa. Aku juga masih bingung apa sebabnya aku pindah. Keluargaku yang merencanakan semua ini. Dan aku tidak bisa mengelaknya lagi.” jelasku dengan mimik wajah menyedihkan.
Mereka hanya mengangguk lesu. Kemudian ia berkata, “Bagaimana dengan persahabatan kita? Aku belum siap untuk pisah denganmu. 10 tahun bukanlah waktu yang singkat untuk kita menjalin persahabatan hingga sedekat ini. Aku ngga tau bagaimana nanti jika tidak ada kamu. Aku kesepian..” Deka mulai berkaca-kaca.
“Iya, bagaimana dengan persahabatan kita juga? Walau kita baru satu tahun bersahabat, tapi rasanya ikatan batin kita sudah cukup kuat. Aku belum bisa membayangkan bagaimana nanti persahabatan kita tanpa kamu, Meg.” ucap Disha pelan
Kemudian mereka terdiam sejenak. Menarik napas, berusaha tuk tetepa tegar. Begitupun denganku.
“Aku juga begitu. Rasanya sulit banget buat menerima kenyataan. Jujur sejujur-jujurnya aku sangat tidak setuju untuk pindah. Tapi mau bagaimana lagi? Masa aku harus tetap di sini? Hidup sebatang kara? Sementara sanak saudaraku ada di Batam.” Aku menyerah. Ketegaranku sedikit demi sedikit pudar, akhirnya tetesan air mata mulai turun dari mataku. Kemudian aku mengajak mereka untuk duduk terlebih dulu di kursi yang memang sudah ada di pinggir Taman Sakura itu yang biasa diduduki pejalan kaki —terutama kami para remaja— saat merasa lelah di tengah perjalanannya.
“Ya, sudah. Jangan nangis begitu, Meg. Aku jadi ikut sedih. Sekarang kamu berdo’a aja supaya diberi petunjuk dan diberi ketegaran. Mungkin ini semua yang terbaik bagimu.” nasihat Deka padaku.
“Iya, aku juga ikut sedih tau.” kata Firani yang masih tegar tidak seperti teman-teman yang lain yang udah mulai meneteskan air mata. Firani memang dikenal anak yang ngga mudah meneteskan air mata di antara kami.
“Iya, semua. Makasih banget atas nasihatnya.” ucapku berterima kasih.
“Meg, aku mau ngomong sesuatu padamu. Tapi mungkin sekarang ini aku sudah telat. Aku menyesal mengapa aku baru mengatakannya sekarang.” ucap Deka.
“Ngomong apa?” tanyaku penasaran juga para ADSN.
“Aku suka sama kamu, Meg! I love you, Mega.” jawab Deka kemudian.
Gubrak! Aku ternganga. Juga teman-temanku semua. Apa? Aku ngga salah dengerkah? Deka..!
“Becanda, ya? Sejak kapan? Bagaimana bisa?” tanyaku meyakinkan.
“Eciyeeee...” ADSN semua langsung meledek. Jelas saja pastinya! Apalagi ini bisa jadi salah satu cara menghapus air mata di pipi mereka. Huh.
“Sungguh. Serius. Sudah sejak lama. Sebenarnya saat kamu curhat atopun cerita-cerita ke aku yang mengulas tentang Vio, rasanya aku sakit banget. Tapi itu semua aku lakukan demi kebaikanmu, Meg. Aku rela sakit demi kamu.” jawab Deka mengharukan.
“Deka, maafin aku selama ini. Aku menyesal membuatmu sakit. Seharusnya aku bisa lebih melihat kebaikanmu dibanding dengan keburukan Vio. Aku bodoh, ya! Kenapa aku biarkan orang yang mencintaiku terluka, sementara itu aku biarkan orang yang aku cintai —bahkan dia tak mencintaiku sama sekali— menyakitiku.” sesalku.
“So sweet.” kata Dzaifa yang tak capai-capainya terus meledek.
“Tidak, Meg. Kamu tidak bodoh! Bahkan kamu itu pintar. Bisa membuat orang mengerti arti sebuah persahabatan juga cinta. Yang bodoh itu orang yang menyakitimu!” ucap Deka.
“Iya, Mega. Benar yang dikatakan Deka.” bela Firani.
“Terima kasih, semua. Sungguh, kalian memang sahabat terbaikku yang selalu menghiburku disaat aku bersedih maupun bahagia. Thank very much, my friends!” kataku berterima kasih lagi.
“Sama-sama, Meg.” ucap mereka semua serentak.
“Kamu juga sahabat terbaikku. Baru kali ini aku punya sahabat sebaik dirimu.” Deka menambahkan.
“Bisa aja, hehehe.” cengirku. “Tapi, aku minta maaf banget. Jujur aku tidak tega sama kamu, Dek. Namun ini mungkin udah takdirmu juga takdirku. Kita diciptakan tidak lebih untuk menjadi sahabat. Cuma itu. Teman dan sahabat. Tidak lebih dari itu.” ucapku kepada Deka. “Juga kalian semua. Aku minta maaf, ya, kalau selama bersahabat dengan kalian aku banyak banget ngelakuin kesalahan yang mungkin membuat goresan luka di hati kalian.” lanjutku.
“Tidak apa-apa. Aku sangat maklum itu. Tapi kamu janji, selamanya kita akan bersahabat? Jarak bukan jadi penghalang kita untuk menjalin persahabatan, kan?” pinta Deka.
“Iya, janji, kaaan?” pinta ADSN juga dengan serentak.
“Janji. Best friends forever J!” jawabku. Lalu aku merangkul mereka.Mereka juga begitu, saling merangkul satu sama lain. Kemudian bersatu. Tanda persahabatan, SELAMANYA!!!
“Good bye, Mega!” kata mereka tiba-tiba.
“Hmm..” aku berdehem sedikit ragu. “Good bye, to all. I will always miss you.” ucapku kemudian sambil meneteskan air mata.
“I will always miss you to, Mega.” balas mereka serentak dengan haru.
Tak terasa, hari mulai sore. Matahari hampir tenggelam. Inilah saat-saat yang paling aku suka. Senja. Sebenarnya aku masih ingin menikmati suasana hangat disaat matahari hanya tinggal menampakan setengah badannya apalagi bersama mereka. Namun, mereka dan juga aku pasti sudah dicariin sama orang tuanya. Karena pulang terlalu sore. Padahal ada jam tambahan, namun kami tidak sempat mengabari orang tua terlebih dahulu. Yasudah, terpaksa kami pulang saja. Tak kukira, ini menjadi perjumpaan terakhir aku dengan mereka :(
Next -->
Komentar
Posting Komentar
Dibutuhkan komentar! Siapapun boleh komentar. Asal jangan mengandung SARA, pornografi, maupun menghina. Komentar disini berisi yang membangun dan hiburan semata. Terima kasih.