Di Balik 10 Tahun Yang Akan Datang Part II (END)

Sebelumnya baca : Part I :))))



                Sudah sekitar 2 bulan, aku tak bersama Ary. Rasanya hari-hariku mendung tak mendengar suaranya maupun tawanya dan tak melihat matanya maupun batang hidungnya. Aku menyesal belum sempat jujur padanya, tapi aku harap bersabar sampai waktu yang tepat. Karena aku tahu, cinta bukannya datang tak tepat waktu tapi ia lebih memilih waktu dimana cinta itu akan memberikan sebuah kebahagiaan. Dan aku bersyukur, walaupun aku dan Ary terpisah jarak, kita masih bisa berkirim sms, whatsapp, maupun line. Aku tak pernah merasa lost-contact dengannya.
                Akhirnya yang aku tunggu-tunggu datang juga, sebuah pesan dari Ary yang berisi, ‘Aku akan pulang mungkin lusa. Jadi, aku harap kamu bisa menjemputku di stasiun yang tak jauh dari komplek kita.’ Dan, ya, speechless aku membacanya. Aku tak sabar menunggu hari itu.
****


                Hari yang aku tunggu.
Mentari belum menampakan dirinya, namun bunyi kokokan ayam jago sudah terdengar. Orangpun sudah banyak yang berlalu lalang di jalan depan rumahku, ada yang pergi ke pasar ada pulang yang bercar free day, ya, hari ini hari minggu. Walau hari masih pukul 04.30, tapi aku sudah berpakaian sangat rapi. Setelah terbangun gara-gara ibuku yang membangunkanku sembari untuk mengucapkan selamat ulang tahun untukku. Ya, hari ini tepat hari ulang tahunku ke-18 dan hari ini pula Ary pulang. Seperti janjinya 10 tahun yang lalu.
Pukul 05.00 aku harus sudah ada di stasiun untuk menjemput Ary —kemarin Ary sudah mengabariku ia akan datang sekitar pukul 5 pagi.
Aku berteriak gembira, “Yes. Hari ini Ary pulaaang.” segera aku pergi menuju stasiun —kali ini tidak menggunakan papan skyboard ku melainkan sepeda motor matic.
Sudah sekitar 45 menit aku menunggu, tapi belum nampak pula si Ary. Sudah berapa kali aku salah orang, aku kira orang itu adalah Ary, ternyata bukan. Dan, tiba-tiba..
“Hay, kamu yang namanya Ara kan?” tanya seseorang yang baru saja datang dan mengenali namaku —padahal kita sebelumnya belum saling kenal.
“Iya, kamu...”
“Kenalin, aku Caroline panggil aja Olin. Kamu lagi nunggu Ary, kan?” belum selesai aku berkata, dia langsung menjulurkan tangannya seraya berkenalan denganku.
“Kok, kamu tau?” tanyaku.
“Iya, aku disuruh Ary buat nemui kamu.”
“Loh, Ary-nya mana?”
“Ary minta maaf, dia gak bisa dateng ke sini. Ada kepentingan mendadak katanya. Mungkin minggu depan dia baru akan datang ke sini.” jelas Caroline.
Aku tercengang. Bengong mendengar apa yang baru dikatakan cewek itu. ‘Ary gak bisa datang? Padahal ini kan hari ulang tahunku. Masa iya, ia lebih memilih urusan yang lain? Sepenting itukah urusan itu sampai bahkan ia memilih untuk ingkar janji dengan tidak datang menemuiku mengucapkan selamat langsung dan memberi kado untukku?’ beribu pertanyaan di benakku.
“Oh gitu.” ucapku dengan nada lirih. “Lalu, kamu siapanya Ary? Pacarnya?” sambungku.
“Hussst. Kamu jangan ngaco. Ary kan hanya milikmu. Aku sepupunya dia.” jawabnya.
Aku tertawa kecil mendengar ucapan Olin barusan, ‘hanya milikmu’.
                “Oh iya, ini untukmu. Dari Ary.” ucap Olin sembari menyodorkan sebuah bungkusan dari tangannya.
“Ini apa?” tanyaku.
“Aku gak tau. Pasti kado. Kamu lagi ultah kan?” ia balik bertanya. Aku hanya tersenyum. “Selamat ulang tahun, ya.” sambungnya sambil menjulurkan tangannya yang kedua kalinya —kali ini untuk memberikan selamat ulang tahun padaku, bukan untuk kenalan.
“Trima kasih.” ucapku.
“Yaudah, aku pulang dulu. Sampai ketemu lagi.” segera ia berbalik badan dan berjalan menuju rumahnya, namun baru dua langkah aku mencegatnya.
“Eh, tunggu dulu! Rumah kamu dimana?” tanyaku.
“Tuh, di sebelah utara rel.” jawabnya sambil menunjuk rumah berwarna biru di sebelah utara rel, otomatis mataku ikut mengarah ke rumah yang ditunjuknya.
“Oh itu.”
Di dalam hati, aku bertanya-tanya kenapa sejak dulu Ary tak pernah bercerita kalau ia punya sepupu cantik di daerah sini?
“Aku baru pindah 3 hari yang lalu.” ucapnya seperti ia mengetahui apa yang sedang ditanyakanku di dalam hati.
“Oh.” ucapku. “Yaudah, hati hati nyebrang rel nya.” sambungku sambil tersenyum diapun membalas senyumku.
****
Sambil duduk di kasur kamar, aku memandangi sebuah kotak kecil yang tadi Olin berikan untukku. Sebuah hadiah dari Ary untuk ulang tahunku katanya.
Tanpa pikir panjang aku membuka kado itu. Yang berisi seutas gelang terbuat dari serat bambu yang dikepang. Aku sangat paham gelang itu, ya, gelangku. Gelangku yang beberapa bulan lalu hilang ketika aku sedang bermain skyboard di taman bersama Ary —ketika ia masih di sini, sekitar 2 bulan yang lalu.
Selain gelang, terdapat juga sepucuk surat yang berisi..
Untuk Ara,
Hay, Ara-ku sayang. Maaf sebelumnya, aku mengingkari janjiku untuk pulang ke sana dan mengucapkan selamat ulang tahun langsung untukmu. Sebab ada suatu urusan yang sangat penting, ini menyangkut nyawaku. Aku minta maaf jika selama ini aku berbohong sama kamu, aku pergi bukan untuk pindah sementara, tetapi aku pergi untuk berobat dan opnam. Selama ini aku sakit, mungkin tergolong sakit parah. Aku akan memberi tahumu dan menceritakan semuanya ketika aku pulang ke situ jika aku masih diberi umur panjang. Dan sekarang, aku sedang pergi menuju Singapura untuk berobat yang lebih serius. Mungkin hanya sekitar 5 hari. Setelah itu aku pasti pulang dan menemuimu. Ohya, maaf lagi aku cuma bisa ngasih gelang itu untukmu. Aku tidak sempat untuk membeli kado, karena hari-hariku hanya terbaring di kasur putih. Gelang itu aku ambil ketika kamu bermain skyboard, mungkin kamu merasa kehilangan tapi kamu gak berani jujur ke kamu kalo gelang itu hilang.
Hampir lupa, selamat menempuh ujian nasional ya, Ra. Semangat! Semoga kamu bisa masuk ke universitas yang kamu ingin dan semoga kita bersama lagi.
Yaudah, segini aja dulu ya, Ra. Maaf sekali lagi. Terserah kamu, kamu mau nerima permintaan maafku atau tidak. Dan, mungkin kamu benci aku. See you, my bestfriend, my soulmate, my love.
Dari Sang Pendusta, Ary.”

Seketika itu, aku tak dapat bicara apapun. Diam. Diam seribu bahasa. Bungkam. Air matapun mulai keluar dari sarangnya. Mengalir begitu deras, hingga surat itupun hampir rusak terkena tetesan-tetesan air mataku.
Ary, I've already forgiven you. I’ll never hate you. Because you’ve be my bestfriend, my soulmate, my love. Dan aku selalu menunggu kebahagiaan cinta itu datang diwaktu yang tepat.
END
Origian writing of Sufia Nura
19022013

Komentar

Tulislah apapun itu, agar kamu merasa selalu ada.