Di Balik 10 Tahun Yang Akan Datang Part I



                Terlihat senja menyapa di ufuk barat sembari mengiringi kepulangan mentari ke peraduannya, yang seraya tersenyum sendu padaku dan pada seorang anak laki-laki yang duduk di sampingku di bangku taman belakang rumahku, usianya baru sekitar satu windu —sama sepertiku. Ary namanya.
Sambil menikmati suasana senja, seperti biasa, kita saling bercanda dan bersenda gurau, dan kadang kita bermain skyboard pula, kesukaanku.
“Ry?”
“Apa?”
“Sepuluh tahun yang akan datang, kira-kira kita masih bisa bersama seperti ini nggak ya?” tanyaku.
“Masih.” jawabnya.
“Kamu yakin?”
“Yakin, kok.” ucapnya meyakinkanku, sembari menjulurkan jari kelingkingnya, akupun segera mengaitkan jari kelingkingku ke kelingkingnya seraya berjanji.
“Tunggu sebentar, ya. Kamu di sini aja.” suruhnya. Segera ia berlari menuju ke timur dan hilang begitu cepat. Tak lama iapun kembali menampakan batang hidungnya. Dan tiba-tiba ia menjulurkan tangannya sembari memberi seutas gelang yang terbuat dari serat bambu yang dikepang dan terpampang sebuah nama, “Ara” —ya, namaku.

“Ini untukmu.” katanya.
“Ini apa?” tanyaku.
“Buat kenang-kenangan. Lagian 3 hari lagi kan kamu mau ulang tahun jadi aku kasih kado ini dulu ya.  Ini aku juga punya satu, ada namanya Ary.”
“Oh. Makasih, ya. Kamu masih inget aja ulang tahunku, hehe.” ucapku. Ia tersenyum dan berkata, “Aku gak akan pernah lupa ulang tahunmu. 10 tahunpun yang akan datang pasti aku menjadi orang yang memberi ucapan dan kado langsung pertama untukmu setelah ayah dan ibumu.” Aku hanya tersenyum dan merasa orang paling beruntung saat ini.
****
9 tahun lebih waktu berjalan begitu cepat. Dan selama ini pula, aku masih selalu bersama dengan Ary. Sahabt terbaikku. Tapi rasanya, aku bukan hanya menganggapnya seorang sahabat, tetapi juga.....
“Hay, Ra!” sapa Ary padaku ketika aku sedang asik membaca novel terbaruku di halaman sekolah SMA Negeri Pancasila ­—sekolahku dan sekolah Ary.
“Apa?” tanyaku.
“Mm.. Gak ada apa-apa.” ucapnya santai sambil tersenyum tipis dan sembari duduk di sampingku. Aku merasa bergetar sejenak ketika ia berada di sampingku. Padahal, kan, hal seperti ini sudah terlalu sering bagiku —kita.
“Oh, ya, Ra, aku mau ngajak kamu main ke timezone di Mall Ratu Indah mau gak? Kamu, kan, suka banget, tuh.” ucapnya mengajakku.
“He? Maulah pasti!” jawabku. Entah kenapa aku merasa sangat senang mendengar Ary mengajakku. Aku tak sabar menunggu jam pulang sekolah.
“Jawaban yang absolut!” ledeknya.
“Hahaha.” tawaku.
****
“Udahan yuk mainnya. Aku capai.” ucap Ary sambil mengelap keringatnya. Aku yang begitu senang tak merasa capai sama sekali, apalagi ini bersama Ary.
“Yah. Yaudah deh. Lagian udah dapet banyak kupon. Aku tukarkan kupon ini dulu, ya.” ucapku semangat. Tak mau nunggu jawaban Ary aku segera menukarkan kupon ini ke tempat penukaran kupon. Aku memilih-milih benda di balik etalase yang sekiranya pas ditukarkan dengan kuponku. Akhirnya aku memilih 2 pin bergambar sapi dan kura-kura dan dua buah es krim untukku juga Ary. Saking asiknya aku memilih-milih, tak sadar Ary ada di belakangku. Ketika aku membalikkan badan, hampir saja aku menabrak Ary.
“Wah, Ary. Maaf aku gatau kalo kamu di belakangku.” ucapku. Aku melihat Ary yang begitu lemas dan pucat. Aku jadi merasa bersalah.
“Iya, gapapa. Itu buatku kan es krim yang satunya?” tanyanya ngarep.
“Iya. Nih.” jawabku sambil menyodorkan es krim untuknya.
“Makasih untuk hari ini, ya, Ry. Aku seneng.” ucapku gembira.
“Iya, sama-sama.”
“Kapan-kapan lagi, ya, Ry. Tapi aku janji, deh, gabakal bikin akmu secapai ini.”
“Hmm. Iya.” hanya gumaman.
****
“Hari ini jadwalnya kita main skyboard.” ucapku pada Ary yang sedang duduk di bangku taman, seperti biasa.
“Aku capai, Ra. Aku lagi gak fit.”
“Yah, yaudah aku main sendiri aja. Siapa tau kelak aku jadi atlit skyboard, hehe.”
Akhir-akhir ini Ary berubah. Ia lebih sering diam. Aku merasa kehilangan seorang Ary yang dulu. Padahal, dari kemarin aku sudah mempersiapkan mentalku untuk jujur padanya, bahwa aku ingin menjalin hubungan lebih dari sebatas sahabat dengannya, ya, aku menyimpan rasa untuknya. Entah sejak kapan. Akupun benci dengan perasaanku, tapi aku tidak bisa mengendalikannya. Dan aku bosan menyimpan rasa ini. Mencintainya hanya dalam diam, ibarat upil di dalam hidung. Ketika dikeluarin mungkin saja gak enak tapi mungkin juga enak, tergantung situasi yang pas kita ngeluarinnya, dan gak dikeluarin lebih gak enak. Aku ingin jujur, walaupun aku siap apa hasilnya. Enak atau gak enak. Tapi ini mungkin belum waktu yang tepat, Ary sedang mengalami proses perubahan, seperti kebanyakan remaja saat ini —labil.
“Hati-hati main skyboard-nya, Ra. Nanti kamu jatuh.” nasihat Ary dari kejauhan.
“Siap.” ucapku sembari mengangkat dua jempol sekaligus tanda menuruti apa nasihatnya.
Walau Ary akhir-akhir ini lebih sering diam, tapi perhatiannya untukku tak pernah hilang. Walaupun ia sendiri yang seharusnya aku perhatikan. Aku jadi merasa seperti diberi harapan palsu olehnya. Tapiya, entah mungkin aku yang terlalu GR.
                “Ra, sini, deh, kemari. Aku mau ngomong sesuatu sama kamu.” ucap Ary dari kejauhan sambil melambaikan tangannya. Akupun segera meluncur dengan papan skyboard punyaku menuju bangku tempat Ary duduk.
                “Ada apa, Ry?” tanyaku penasaran.
                “Aku mau bicara sama kamu.”
                “Bicara aja langsung.”
                Di dalam hati, aku sudah menebak-nebak bahwa ia ‘mungkin’ akan menembakku. Jadi gak usah musti aku yang ngaku terlebih dulu, gengsi dong pastinya. Duh, pasti rasanya speechless ketika Ary menembakku. Tapi, dari raut mimiknya ia tak terlihat bahagia sama sekali, aku jadi ragu.
                “Aku mau pindah sementara, ke luar kota.” ucapnya dengan muka polos menyembunyikan dosanya.
                Dan, benarkan. Ia tidak menembakku, tetapi malah sebuah pernyataan  yang di luar dugaanku. Sama sekali. Sambil menahan tangis dan kecewa aku berkata,
                “Untuk apa kamu pindah sementara? Kamu bosan hidup denganku setiap hari?” tanyaku mulai berkaca-kaca.
                “Bukan itu, aku hanya memenuhi permintaan Ayahku.” jelas Ary.
                “Ya, tapi kenapa kamu nggak nunggu sampai lulus SMA dulu? Kan nanggung tinggal sekitar 3 bulan lagi.”
                “Aku gak bisa menolak permintaan ayahku. Maaf, Ra.”
                “Oh gitu. Yasudah, turuti aja apa kata ayahmu.” iklhasku. Aku tersenyum —senyum palsu tepatnya— dan mataku mulai menetsakn air. Ary mengusap air mataku, kemudian ia memelukku. Nyaman rasanya di pelukannya. Disela pelukan itu, ia berkata, “Tunggu aku pulang. Aku hanya 2 bulan. Kelak kita akan bersama lagi. Aku janji.” Aku hanya mengangguk.
****

To be continued..
Baca : Part II :)))))

Komentar

Tulislah apapun itu, agar kamu merasa selalu ada.