Sok-sok Ngomongin Pendidikan

Mau sedikit cerita aja. 

Bukan, bukan tentang SBMPTN yang baru saja pengumuman. Tapi ini tentang sistem baru Penerimaan Peserta Didik Baru atau disingkat PPDB ditingkat SMA yang menggunakan zonasi. Mungkin ini sudah berlaku beberapa tahun belakangan ini, tapi baru benar-benar kerasa buat saya ya tahun ini. Karena saya sebagai kakak dari "korban" adanya sistem ini. 

Sebelumnya, mohon maaf jika banyak terdapat kesalahan dalam penulisan ini saya mohon koreksinya dengan baik-baik. Karena saya tau ini ada pro-kontranya dan saya bukan siapa-siapa. Saya hanya ingin mengutarakan ke"gregetan" saya saja yang saya tuangkan dalam blog ini untuk mengisi kekosongan. No offense. 

Jadi, adik saya baru lulus SMP tahun ini dan pastinya mau daftar ke SMA, dong. Doi udah punya SMA inceran dari lama, mungkin dari saya masih SMA disitu juga. Yang namanya adik biasanya ngikut kakaknya, yakan. Sama seperti anak-anak yang mau Ujian Nasional (UN) pada umumnya. Doi udah belajar keras dan ikut les maupun tambahan pelajaran. Alhamdulillah waktu pengumuman lulus nilai doi cukup memuaskan kalau menurut saya dengan rata-rata 8,7 ke atas. Dijaman saya dulu (5 tahun yang lalu) nilai segitu aman lah, bisa masuk. Jadi, optimis dong kami sekeluarga. Tapi, adanya sistem zonasi yang diterapkan sekarang jadi agak mengurangi rasa optimis kami. Dan itu terbukti! 

Hari pertama pendaftaran, doi sama ibuk saya berangkat pagi jam 6 lebih. Karena memang rumah saya terpaut jarak +- 20km dengan SMA tersebut, kalau naik motor aja +-30 menit, ini naik bus dan angkot. Iya, dulu saya juga ngekost. Setelah selesai pendaftaran hari pertama, pulanglah doi dan ibuk saya ke rumah. Ya, iyalah. Kemudian memantau jurnal atau urutan ranking doi via web buat memastikan aman tidaknya. 

Baru hari pertama, urutan ranking doi udah semakin turun, guys. Padahal, nilai doi masih jauh di atas rata-rata pendaftar. Ya, beginilah namanya juga pakai sistem zonasi. Doi masuk zona II karena rumahnya jauh dari SMA tapi masih satu kabupaten. Pada akhirnya, baru hari ke-2 doi udah tersingkir. Kalah sama yang nilai rata-rata di bawah 7 karena zona I. Padahal kalau doi bisa masuk zona I urutannya masih jelas aman. Bayangin?!?! Sedih gak, sih? Saya juga ikutan sedih!😭 Akhirnya doi masuk SMA deket rumah. Tapi, namanya juga rezeki tetep harus ikhlas, dong. Walaupun kalau saya jadi doi juga pasti hhhh, geram. 

Ada untungnya juga, sih. Doi gak perlu kost, rumah deket. Ortu gak perlu ngeluarin biaya tambahan dan ada yang nemenin di rumah karena saya sendiri sekarang juga lagi merantau😢 Percaya pasti semua ada hikmahnya, sih. Back to the story. 

----

Jadi, gini ketentuan sistemnya, guys. Buat yang belum paham dipahami baik-baik, ya, wkwk. 
Urutan doi dikalahkan sama anak2 zona I semuanya BERAPAPUN NILAINYA. Yang parahnya lagi, ada 3 kriteria yg bisa jadi anak tsb berada diurutan paling atas tanpa liat nilainya bahkan lgsg diterima. 

Kriterianya: 
1. Anak guru di SMA tsb.
2. Anak dg piagam I, II, III internasional dan piagam I nasional.
3. Anak dg SKTM (dgn syarat di zona I). 

Menurut saya, kriteria pertama masih boleh lah ditoleransi dg adanya "bangku spesial" untuk anak guru. Karena setau saya, itu gak cuma di SMA tapi di bangku kuliah pun begitu. #cmiiw 

Kriteria kedua. Ini lebih bisa ditoleransi. Karena anaknya yang memang punya "bakat spesial" dan diharapkan bisa mengulanginya lagi di tingkat SMA untuk membawa nama baik SMA ybs. 

Kriteria ketiga. Anak kurang mampu. Kalau anak tsb memang benar-benar pintar dan nilainya pantas, saya sangat setuju. Tapi, kalau memang nilainya kurang? Hanya modal jimat sakti (re: Surat Keterangan Tidak Mampu atau SKTM) langsung diterima? Hmm, iykwim. Kasihan. 

Menerima mereka yang rumahnya dekat walaupun dengan nilai kurang. Saya sempat ketawa ketika saya baca pro kontra sistem ini yg udah berjalan di beberapa tempat katanya SMA nya jadi banyak cabe-cabean dan terong-terongan. Wkwkwk. Nah, dari pengalaman yang didapat doi itu saya sebagai kakak ikut kesel juga, dong. Namanya anak ingin menuntut ilmu sejauh-jauhnya kok dihalangi dengan sistem zonasi seperti ini?  Dengan alasan sistem tsb supaya menyamaratakan semua SMA yang ada di wilayah ybs sehingga tidak ada yang namanya SMA unggulan. Oke, baiklah. Kita terima dulu alasan tersebut. Tapi, ketika dipikir lagi. Apakah alasan tersebut benar-benar solusi yang tepat? Iya, memang ada untungnya sistem tsb, tapi menurut saya lebih banyak ruginya. Kalimat kasarnya kaya, "Seenak jidat membuang anak-anak berpotensi." Gitu sih jatohnya, hehe. 

Untung bagi mereka yg memang kurang mampu dan mereka yg memiliki nilai kurang di wilayah ybs. Jadi bisa dikatakan, pendidikan itu buat siapa aja. Orang miskin dan bodohpun perlu pendidikan yang sama rata, tidak dibeda-bedakan. Eh, tunggu dulu. Kalau alasannya cuma itu, terus, mereka yang ingin menuntut ilmu lebih jauh apa tidak diperbolehkan? Apa harus menuntut ilmu disekitar mereka aja? Lalu, buat apa mereka belajar keras demi masuk ke SMA impian? Hmm menarique. 

Menurut saya pribadi, yang namanya SMA unggulan sudah sejak dulu, pasti siswa siswi cerdas tetap saja akan berusaha masuk di SMA tersebut. Dengan demikian, siswa siswi cerdas akan diterima dan apabila ada sistem zonasi maka, akan ada kesenjangan yang tinggi antara siswa siswi yang memang cerdas (dalam zona tsb mapun luar yg diterima) dgn siswa siswi yang maaf, nilainya rendah di zona tsb tapi juga diterima. Hal itu bukannya akan menjadi merepotkan bahkan menyusahkan para pengajar di SMA tsb? Pastinya akan sedikit mengubah sistem pengajaran yang ada di SMAnya dikarenakan akan ada siswa siswi yang memiliki "kemampuan" berbeda untuk menyerap pelajaran yang diterimanya. Dan masuk ke SMA unggulan menurut saya bukanlah sebuah TUJUAN AKHIR biar dikata WAH. Itu hanya sebagai jalan yang lebih mudah untuk ke depannya. Itupun belum tentu berhasil. 

Mungkin dia ingin lebih mudah untuk mendapatkan kampus favoritnya kelak yg dimana SMA itu memiliki jaringan baik dengan kampus impiannya? Atau mungkin dia ingin lebih memperluas pergaulannya? Beradaptasi dengan lingkungan yang baru?  Ya, karena, perlu digaris bawahi. SMA impian tidak melulu SMA unggulan, guise. Bisa jadi anak tsb ingin masuk SMA impian yg jauh dari rumahnya supaya temannya dan saingannya "gak itu2 aja"😊 Kalau semua SMA sama rata tapi dengan rata2 yang lebih anjlok dari sebelumnya apa itu malah tidak merugikan? Tidak ada SMA yang menjadi acuan penilaian untuk meningkatkan prestasi. Jadi, stuck disitu saja. Lalu, bagaimana nantinya pemerintah akan menguji prestasi SMA tersebut? Apakah SMA tsb sudah masuk kategori baik? Bukankah yang namanya kompetisi pasti akan ada peringkat 1, 2, dst? Hmm menarique, lagi. 

Salah satu yg dikhawatirkan adalah ketika tahun depan atau tahun2 yang akan datang jika sistemnya masih seperti ini, anak2 SMP yang akan melaksanakan UN bisa beranggapan, "Buat apa belajar, kan rumahku deket SMA ini. Pasti diterima." atau "Rumahku jauh dari SMA ini, pasti aku belajar gimanapun ttp gabisa masuk." Hmm jadi mengurangi semangat mereka untuk belajar lebih keras. Miris juga, ya☹️ Selain itu, apakabar SMA swasta? Ketika dulu ada anak yang kurang beruntung buat masuk ke SMA negeri akhirnya masuk ke swasta. Tapi, ketika negeri seenaknya bisa menerima siswa berapapun nilainya plus SKTM? Sama saja mematikan SMA swasta, ibuk saya ngalamin sendiri. 

Oh, ya, satu lagi. Saya juga sempat kepikiran dengan yang usaha kos2an di sekitar SMA ybs. Kalau hampir semua yg sekolah skrg anak2 lokal, terus yg ngekos siapa, dong? Kasian juga, yakan. Menghambat rezeki orang. Hmm. 

Jadi, kesimpulannya kalau ingin meratakan sistem pendidikan SMA tidak harus mengurangi bahkan menutup kesempatan siswa siswi yang ingin lebih maju dan mengembangkam kompetensinya, bukan? Tapi, ya, sudahlah. Namanya juga kebijakan pemerintah pasti sulit untuk diganggu gugat. Kita lihat saja kedepannya outputnya akan seperti apa. Dan mari berdo'a semoga selalu ada jalan yang diberkahi disetiap keputusan yang diambil. Aamiin. 

Last but not least. Semoga pepatah "Tuntutlah ilmu walau sampai ke negeri China" masih bisa terus diterapkan. 😊

Komentar

Tulislah apapun itu, agar kamu merasa selalu ada.